SYI'AH DAN NIKAH MUT'AH (NIKAH KONTRAK)
Nikah
mut’ah dalam ajaran syi’ah adalah nikah kontrak dalam waktu tertentu.
Beberapa tahun, bulan, minggu atau bahkan beberapa jam saja. Terserah
pada kesepakatan calon ‘mempelai’. Nikah mut’ah ini tidak ada bedanya
dengan zina selain karena adanya kontrak waktu, juga tidak disyaratkan
adanya saksi dan wali.
Pembaca
yang baik, al-Balagh edisi kali ini kembali mengangkat salah satu sisi
paling mencolok yang membedakan kita Ahlussunnah dengan Syi’ah Rafidhah
mengingat banyak kaum Muslimin yang tidak tahu hakikat syi’ah.
Mut’ah
memiliki keistimewaan yang besar di dalam aqidah Syi’ah Rafidhah,
dikatakan dalam buku “Manhajus Shadiqin” yang ditulis oleh Fathullah Al
Kasyani, dari Ash Shadiq bahwasanya mut’ah adalah bagian dari agamaku,
dan agama nenek moyangku, dan barang siapa yang mengamalkannya berarti
ia mengamalkan agama kami, dan barang siapa yang mengingkarinya berarti
ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama dengan
selain agama kami, dan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah
lebih utama dari pada anak yang dilahirkan di luar nikah mut’ah, dan
orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.
Dinukil
oleh Al-Qummy dalam bukunya “Maa laa Yudhrikuhul Faqih, dari Abdillah
bin Sinan dari Abi Abdillah ia berkata “Sesungguhnya Allah Subhanahu
Wata'ala mengharamkan atas orang-orang syi’ah segala minuman yang
memabukkan, dan menggantikan bagi mereka dengan mut’ah.”
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”, Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar, dari Zurarah dari Abi Abdillah ia berkata, “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang dimut’ah, apakah hanya empat wanita? ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita, meskipun itu 1000 (seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari duburnya (menyetubuhi istri dari jalan belakangnya).
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”, Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar, dari Zurarah dari Abi Abdillah ia berkata, “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang dimut’ah, apakah hanya empat wanita? ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita, meskipun itu 1000 (seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari duburnya (menyetubuhi istri dari jalan belakangnya).
Disebutkan
dalam buku Al-Istibshar yang diriwayatkan dari Ali bin Al-Hakam, ia
berkata, “Saya pernah mendengar Shafwan berkata” saya berkata kepada
Ar-Ridha, “Seorang budak memperintah saya untuk bertanya kepadamu
tentang suatu masalah yang mana ia malu menanyakan langsung kepadamu”,
maka ia berkata, “Apa masalah itu?”, ia menjawab, “Bolehkah seorang
laki-laki menyetubuhi istrinya dari duburnya”, maka ia menjawab, “Ya,
boleh baginya”.
Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah Subhanahu Wata'ala berfirman,
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela, barang siapa yang mencari dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS.Al-Mu’minun : 5-7).
Pembaca
budiman, inilah salah satu ajaran syiah yang bertentangan secara nyata
bertentangan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah
Kisah Nyata Tentang Mut’ah
Syaikh
Dr. Abdul Mun’im an-Nimr dalam salah satu risalahnya bercerita tentang
teman beliau yang seorang guru besar sastra Persi. Sang guru besar
bertutur pada beliau,”Saya berkunjung ke Teheran saya siapkan makalahku
tentang sastra Persia. Selama saya di sana saya menyempatkan waktu untuk
mencari informasi tentang nikah mut’ah, bukan untuk bermut’ah tapi saya
ingin menyelidiki. Setelah saya bertanya tentang tempat-tempat mut’ah,
maka saya pun menuju ke salah satu tempat tersebut. Sesampai di sana,
seorang syaikh menyambutku dengan ucapan selamat datang. ”Saya ingin
bermut’ah” kataku membuka pembicaraan. ”Kalau ia cantik dan menarik saya
ingin mut’ah dalam waktu yang lama” kataku melanjutkan. Maka saya oleh
syaikh tersebut dipersilahkan masuk ke salah satu ruangan. Lalu
laki-laki paru baya tersebut memerintahkan kepada beberapa orang
perempuan melintas di depanku dengan memperlihatkan seluruh
kecantikannya untuk saya pilih. Karena hanya ingin menyelidik, sayapun
lalu minta maaf dengan ramah karena tak satu pun yang menarik hatiku.g dilahirkan di luar nikah mut’ah, dan
orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.
Dinukil
oleh Al-Qummy dalam bukunya “Maa laa Yudhrikuhul Faqih, dari Abdillah
bin Sinan dari Abi Abdillah ia berkata “Sesungguhnya Allah Subhanahu
Wata'ala mengharamkan atas orang-orang syi’ah segala minuman yang
memabukkan, dan menggantikan bagi mereka dengan mut’ah.”
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”, Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar, dari Zurarah dari Abi Abdillah ia berkata, “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang dimut’ah, apakah hanya empat wanita? ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita, meskipun itu 1000 (seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari duburnya (menyetubuhi istri dari jalan belakangnya).
Syi’ah Rafidhah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi”, Ath-Thahdib, dan Al-Istibshar, dari Zurarah dari Abi Abdillah ia berkata, “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang dimut’ah, apakah hanya empat wanita? ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita, meskipun itu 1000 (seribu) wanita, karena mereka (wanita-wanita ini) dikontrak.”
Orang Rafidhah tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan mereka memperbolehkan mendatangi wanita (istri) dari duburnya (menyetubuhi istri dari jalan belakangnya).
Disebutkan
dalam buku Al-Istibshar yang diriwayatkan dari Ali bin Al-Hakam, ia
berkata, “Saya pernah mendengar Shafwan berkata” saya berkata kepada
Ar-Ridha, “Seorang budak memperintah saya untuk bertanya kepadamu
tentang suatu masalah yang mana ia malu menanyakan langsung kepadamu”,
maka ia berkata, “Apa masalah itu?”, ia menjawab, “Bolehkah seorang
laki-laki menyetubuhi istrinya dari duburnya”, maka ia menjawab, “Ya,
boleh baginya”.
Bagaimana kita bisa menerima dan membenarkan nikah seperti ini, sementara Allah Subhanahu Wata'ala berfirman,
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka, atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam
hal ini tiada tercela, barang siapa yang mencari dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS.Al-Mu’minun : 5-7).
Pembaca
budiman, inilah salah satu ajaran syiah yang bertentangan secara nyata
bertentangan dengan ajaran ahlussunnah wal jama’ah
Kisah Nyata Tentang Mut’ah
Syaikh
Dr. Abdul Mun’im an-Nimr dalam salah satu risalahnya bercerita tentang
teman beliau yang seorang guru besar sastra Persi. Sang guru besar
bertutur pada beliau,”Saya berkunjung ke Teheran saya siapkan makalahku
tentang sastra Persia. Selama saya di sana saya menyempatkan waktu untuk
mencari informasi tentang nikah mut’ah, bukan untuk bermut’ah tapi saya
ingin menyelidiki. Setelah saya bertanya tentang tempat-tempat mut’ah,
maka saya pun menuju ke salah satu tempat tersebut. Sesampai di sana,
seorang syaikh menyambutku dengan ucapan selamat datang. ”Saya ingin
bermut’ah” kataku membuka pembicaraan. ”Kalau ia cantik dan menarik saya
ingin mut’ah dalam waktu yang lama” kataku melanjutkan. Maka saya oleh
syaikh tersebut dipersilahkan masuk ke salah satu ruangan. Lalu
laki-laki paru baya tersebut memerintahkan kepada beberapa orang
perempuan melintas di depanku dengan memperlihatkan seluruh
kecantikannya untuk saya pilih. Karena hanya ingin menyelidik, sayapun
lalu minta maaf dengan ramah karena tak satu pun yang menarik hatiku.
0 komentar:
Posting Komentar